Friday 7 January 2011

Aku dan Dia


Dear Journal,
Saya berpikir, bahwa gampang sekali untuk menyembunyikan gender seseorang ketika kita menulis dalam bahasa Indonesia. Contohnya saja, kata 'dia'. Dalam bahasa Indonesia, 'dia' bisa berarti lelaki atau perempuan. Sering sekali hal ini menjadi pertanyaan. 'Dia' yang dimaksud di sini merupakan lelaki atau perempuan. Sebagaimana hal yang ingin saya ungkapkan selanjutnya. Terserah bagaimana Anda berpersepsi, karena toh, semuanya akan kembali kepada Anda sendiri.
Kami berdua menempuh pendidikan di universitas yang sama. Kami berdua berada dalam satu lingkungan yang sama. Kira-kira delapan tahun lalu. Walau saya masuk dua tahun lebih dahulu dari dia, namun sekarang hal itu tidak menjadi perbedaan mencolok.
Saya bertemu dia di tahun ini di sebuah tempat yang tidak perlu menjadi konsumsi publik. Saya secara pribadi sangat bersyukur karena dia lah yang kembali membuat saya lebih bisa mewarnai hidup. Sifatnya yang datar serta hampir tidak beremosi, membuat saya semakin penasaran untuk lebih mengenal dia. Saya tidak bisa membaca pikiran dia atau setidaknya menebak apa yang dia rasakan. Dia hanya melihat saya dan berbicara seperti layaknya orang yang baru benar-benar pertama kali kenal.
Sentuhan fisik yang dia berikan. Saat dia memeluk tangan kiri saya. Saat jari jarinya bermain di telapak tangan saya. Seakan memberikan dentingan halus yang merupakan refleksi kebahagiaan yang saya rasakan, terbias dalam gelapnya sinar malam itu.
Setelah lebih dari dua kali bertemu dengan tingkat komunikasi yang intens, saya pun masih belum bisa menebak apa yang dia pikir atau rasakan. Saya semakin penasaran dan walau sudah beribu rasa yang ingin saya ekspresikan, ketika dia berada di hadapan saya, saya kembali mengurung keinginan saya dan mencoba untuk mengikuti kedataran dia dalam bersikap. Saya mencoba untuk lebih tenang untuk bisa mencerna apa yang dia inginkan.
Di rumah makan yang panas itu, namun menyajikan hidangan yang lezat, saya mencoba untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan terhadap dia. Mimpi terbesar saya, keinginan saya serta naluri saya sebagai manusia tertumpah dengan sedikit tertata dalam bahasa yang tersusun tanpa titik dan koma. Matanya menatap mata saya dan hati saya seakan berhenti berdegup sepersekian detik.
Setelah saya mengungkapkan apa yang menjadi hasrat saya sebagai manusia, dia pun terlihat sedikit salah tingkah, dan ternyata dia pun memiliki hasrat yang sama untuk membangun sesuatu. Rasa bahagia singgah dalam diri saya dan rasa itu masih tinggal sampai saat ini. Dia, seseorang yang sebenarnya berada dekat dengan saya, namun tidak pernah bertemu satu sama lain. Lalu apa jadinya jika kita dulu bertemu?
Aku sayang dia...

I am Glowing


Dear Journal,
Pertama kalinya selama hidup di Jakarta, saya mencoba menu di Daeng Tata. Telat banget yah. Rumah makan yang terletak di bilangan Tebet ini terbilang cukup ramai pengunjung. Saat masuk di ke dalam rumah makan ini, aroma masakan serta lembabnya udara malam itu sudah terasa. Saya mengunjungi rumah makan itu dengan seorang teman dekat saya. Kami berdua duduk di sebuah meja di pinggiran dengan harapan mendapatkan hembusan angin segar.
Seorang pelayan datang menghampiri meja kami dengan membawa menu. Sementara saya membaca menu tersebut, datang seorang pelayan lainnya membawa dua piring nasi putih dengan tempat bawang goreng dan jeruk nipis. Teman saya merekomendasikan Iga Ribs dengan minuman jus terong belanda. Mendengar nama terong belanda, membuat saya bertanya apakah itu benar-benar terong yang dijus. Sayapun masih berandai andai seperti apa bentuk terong belanda tersebut dan bagaimana rasanya.
Pesanan kami sudah diantar hanya dalam hitungan kurang dari lima menit. Sang pelayan mengantarkan kuah iga, bumbu kacang, serta iga yang dibakar. Kami menyantap makanan tersebut dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau. Sementara makan, teman saya menceritakan bahwa salah sorang head chef restoran di Grand Indonesia mengatakan bahwa dia biasanya menyajikan jus terong belanda ini untuk menu kelas atas dan untuk menu kelas bisnis di kapal. Chef tersebut juga mengatakan, bahwa buah tersebut merupakan buah khas Indonesia.
Mendengar cerita dari teman saya, saya merasa bahwa saya beruntung dapat menikmati jus tersebut tanpa harus membayar lebih mahal. Jus tersebut datang, dan sayangnya itu bukan jus, namun lebih mirip dengan sirup. Untuk mengurangirasa kecewa saya, teman saya mengatakan, bahwa dia pernah membeli jus tersebut di bilangan kampus UI, Depok. Dan rasa penasaran saya terjawab ketika saya mencoba minuman terong belanda campur markisa. Warnanya seperti jus jambu merah dan rasanya antara markisa yang manis bercampur dengan hambarnya air. Memberikan kesan masam manis yang menyengat. Setelah itu, saya semakin ingin mengetahui bentuk terong belanda yang digambarkan kecil lonjong.
Irisan iga pertama sudah mampir di atas nasi. Saya menuangkan bumbu iga yang rasanya seperti bumbu sate dan memakannya dengan satu sendok kuah yang rasa dan warnanya mirip dengan kuah rawon, namun dengan tekstur yang lebih kental. Iga yang dibakar itu sangat lezat. Tekstur daging yang halus sehingga mudah diiris. Renyah serta gurih ketika terlumat di dalam mulut. Kuah yang hambar itu bercampur sempurna dengan bumbu kacang yang tercampur dengan iga tersebut. Sensasi rasa yang berbeda yang baru pertama kali saya rasakan. Menurut saya, saya belum pernah merasakan rasa seperti itu, dan itu hanya terdapat di rumah makan Daeng Tata.
Dengan merogoh kocek Rp 37.000 anda sudah bisa menikmati sepotong iga ribs ukuran besar, lengkap dengan bawang goreng dan jeruk nipis, serta kuah iga dan bumbunya yang lezat. Ditambah lagi minuman terong belanda campur markisa. Rumah makan ini juga dilengkapi dengan fasilitas wi-fi. Jadi teman-teman, selamat mencoba :)
Saya berterima kasih untuk teman dekat saya, Nugi, yang telah mengajak saya serta merekomendasikan menu tersebut. I am so happy.

Transjakarta Busway


Dear Journal,
Hari ini cuaca memang mendung. Matahari tidak bersinar, namun udara terasa lembab dan sedikit panas. Angin tidak bertiup sebagaimana sore hari pada umumnya. Saya kembali merindukan udara AC (air conditioner) yang dingin.
Setelah berkunjung ke Setia Budi menyaksikan film Little Fockers, saya memutuskan untuk pergi kembali ke Epicentrum karena Starbucks di Setia Budi terlalu penuh dan terlalu panas. Biasanya saya merasakan dingin oleh karena suhu ruangan, namun khusus hari ini merupakan pengecualian. Saya berpikir, bahwa jarak antara Setia Budi One dengan Episentrum tidak terlalu jauh, oleh karena alasan itu saya memutuskan untuk menggunakan Transjakarta Busway.
Angin bertiup dengan pelan, bahkan ketika saya berada di atas jembatan penyebrangan. Setelah saya membayar karcis, saya pun menunggu di ruang tunggu Transjakarta. Sekejap rasa panas menghampiri saya. Keringat di dahi saya sedikit mengucur, namun lama kelamaan keringat itupun membentuk bulir yang lebih besar lagi.
Bis Transjakarta tetap tidak kunjung muncul di hadapan saya dan para penumpang yang lain. Dalam hati saya mengumpat, bahwa ini terlalu panas. Setelah hampir 10 menit menunggu datanglah bis tersebut, namun untuk kedua kalinya saya tidak terangkut karena antrian penumpang yang penuh. Setelah hampir 30 menit menunggu, saya memutuskan untuk keluar dan lebih memilih menggunakan taksi saja. Panasnya temperatur di ruang terbuka itu telah menghabiskan kesabaran saya.
Saya sempat salut dengan warga Jakarta bahwa mereka harus bergelut dengan rutinitas yang sedemikian rupa. Menghadapi macet, panasnya udara serta menunggu kendaraan yang akan membawa mereka sampai ke tempat tujuan. Saya sendiri pun pernah menjadi bagian dari warga Jakarta tersebut, karena selain saya adalah warga Jakarta, saya juga dulu pengguna transportasi umum.
Apa yang saya alami ini membuat saya ingin sekali mengkritisi petugas transportasi khususnya petugas transportasi DKI Jakarta. Transjakarta Busway dibuat untuk tujuan kenyamanan. Namun hal ini juga harus didukung oleh adanya fasilitas menunggu (ruang tunggu) yang juga nyaman. Kalau memang tidak bisa menyediakan AC, setidaknya berikanlah kipas angin untuk menghembuskan angin di kala udara panas. Selain itu buatlah ruang tunggu yang lebih nyaman dengan rongga udara yang nyaman juga, sehingga tidak akan ada penumpang yang harus mengipaskan tangannya atau benda untuk membuat angin.

The Toilet


Dear Journal,
Minggu itu, aku bertemu dengan dia. Di sebuah toilet plaza di bilangan Jakarta Selatan. Dia yang berdiri di sampingku yang tanpa sengaja (atau mungkin disengaja) telah mengadakan kontak mata. Malam itu, ya malam itu, aku berjalan sendiri, memancing dia untuk mengikuti kemana kakiku melangkah. Ternyata memang dia mengikutiku.
Kudekati dia dengan hati berdegup, menunggu sinyal dari dia untuk diriku bisa lebih mendekat. Mata dia menatap mataku, dan alis sebelah kanan dia naik membentuk lengkungan dan aku menangkap itu sebagai signal untuk melangkah lebih lanjut. Dia berdiri terpaku memegang telepon genggamnya yang berwarna hitam. Di belakang dia duduk dua orang lelaki yang tanpa sengaja juga menatap mataku saat aku melihat mereka sedang berbincang.
Aku menghampiri dia namun tidak langsung mengadakan kontak mata, karena aku tidak ingin membuat kecanggungan yang aku rasakan berkembang lebih lanjut. Aku melewati dia dan menarik napas. Lalu menghampiri dia dan menyapa dia dengan sebuah ajakan resmi untuk sama-sama berjalan menuju tempat yang tidak tertuju.
Toilet. Bukan merupakan suatu tempat yang lazim untuk bertemu. Walau berkonotasi negatif, namun kami berdua memang harus berterima kasih kepada toilet itu yang telah mempertemukan kami.
Kami berdua berjalan bersama memutuskan untuk makan karena pada malam itu, aku sangat lapar sekali. Kecanggungan pertama aku rasakan saat berusaha untuk memulai pembicaraan. Ternyata dialah yang lebih dulu menjulurkan tangannya untuk memperkenalkan namanya. Awalnya aku sempat beberapa detik tidak memperhatikan ajakan itu, namun dia mungkin tidak menyadarinya. Aku menjabat tangannya dan mengatakan, "Gue, Felix," setelah dia mempekenalkan namanya.
Pembicaraan mengalir di antara kami, dan malam itu aku mencari cara untuk mengalihkan topik pembicaraan mengenai pekerjaan. Namun apa daya, dia terlanjur menanyakan dimana aku bekerja. Terus terang, aku tidak pernah ingin membicarakan pekerjaan di pertemuan pertama, karena akan sulit buatku menjelaskan bagaimana. Aku ingin mengesampingkan kesan angkuh dari apa yang aku kerjakan sekarang.
Waktu berjalan dan sangat senang sekali sebenarnya mengetahui bahwa dia juga berasal dari almamater yang sama dan aku sudah dapat merasakan hal tersebut. Dunia memang kecil aku pikir saat itu, karena ternyata dia mengenal sosok yang kebetulan sekali aku juga kenal. Dan kami berdua sama-sama pernah merasakan bekerja dengan sosok tersebut. Pembicaraan mengalir terus dan tanpa kurasa waktulah yang membatasi kami untuk berpisah.
I am hoping that we still could have more time to be spent together.

Please


Dear Journal,
Kadang gue gak bisa mengerti mengapa kebanyakan orang Jakarta lebih menye-menye dalam berpacaran. Seriously, gue bersyukur telah melalui banyak fase dalam proses ini, sehingga menjadi lebih tahan banting. Putus memang sakit, tapi ya sudahlah, life goes on kan.
Gue menyadari bahwa mungkin gue terlalu cepat untuk mengambil keputusan. Keputusan yang seharusnya gue tidak ambil namun terambil karena tergesa-gesa.
Kehidupan pribadi sekarang ini menjadi harga mahal yang harus dibayar. Semakin banyak hal yang dilakukan, semakin banyak juga orang-orang baru yang ditemui. Semua tidak bisa terelakan. Apalagi Jakarta dengan era blackberry yang telah berkembang bahkan lebih pesat lagi dari waktu ke waktu. Informasi pribadi semakin terumbar ke publik dengan menyebarnya rumor di sana sini. Gue berpikir bahwa fenomena ini sudah lazim terbentuk di berbagai belahan dunia manapun dan sudah menjadi makanan sehari-hari jika kita dapat mengetahui informasi yang berkembang.
Gue juga yakin, bahwa jurnal yang gue tulis ini menjadi satu bahan untuk dimata-matai. Dan setelahnya akan dikonfirmasi melalui banyak pertanyaan. Sempat gue mebaca timeline di twitter dari sarahsechan yang menuliskan, "I can tweet whenever, however and where ever I like. If you don't like it, stop reading my tweet, my language and ...". Hal inilah yang mungkin dirasakan atas kekesalan seseorang ketika ekspresi dia dibatasi oleh banyak komentar luar yang secara langsung tidak menjadi penting untuk ditanggapi.
Contohnya, baru saja saya menuliskan jurnal mengenai toilet, saya sudah mendapatkan pertanyaan, "apakah kamu sudah bertemu dengan yang lain?". Itulah yang menjadi masalah dalam berpacaran di sini. Ketika apa yang kita tulis dijadikan suatu persepsi untuk berandai-andai dan sijadikan alat untuk menambah rasa dendam serta sakit hati yang akan menjadi obat untuk melupakan sang mantan.
Mungkin ada benarnya juga ketika salah seorang teman saya (Bimbi Nazriyanti) mengatakan, "the cure of the broken heart is another hook up!".

Tuesday 9 November 2010

Vot Tak!


Masih ingat film Dora The Explorer? Saya yakin sebagian dari kita pernah menonton serial kartun keluaran Nickelodeon Junior ini. Satu hal yang menarik dari film ini adalah ketika setiap kali Dora bersama Boots berhasil memecahkan suatu teka-teki atau berhasil menyelesaikan pekerjaan, maka mereka berdua akan menari serta menyanyi, "Berhasil! Berhasil!"

Mendungnya cuaca hari ini tidak menghentikan niat saya untuk datang ke kantor bank yang letaknya agak sedikit jauh dari tempat saya bekerja. Setelah melalui beberapa stasiun metro, sampailah saya di tujuan saya.

Dengan headphone masih menempel di kepala, diiringi lagu Maybe This Time yang dilantunkan oleh sebuah grup bernama Glee, tibalah saya di sebuah gedung besar berwarna cokelat dengan cat tembok yang agak lusuh serta pintu besi di tiap sisi gedung. Saya pun menaiki tangga untuk masuk ke pintu utama kantor tersebut.

Sebuah ruangan kecil dengan lampu remang dengan dua orang security yang juga bertindak sebagai resepsionis gedung, yang duduk sigap.

Saya mendatangi salah satu dari mereka dan mengatakan, bahwa saya ingin bertemu dengan Elena atau Julia. Setelah mendata paspor saya, sang security, yang kira-kira berumur hampir 50 tahun, menunjuk ke sebuah telepon kecil di sudut ruangan dan meminta saya untuk menghubungi nomor extensi Julia.

Saya berpikir, mengapa bukan dia saja yang menelpon dan mengatakan kepada Julia bahwa ada tamu yang mencarinya. Aneh memang. Tanpa ingin bertele-tele, saya menekan tombol extensi dimaksud dan tersambunglah saya dengan suara seorang wanita yang ternyata bukan Julia. Saya mengatakan kepada wanita tersebut bahwa saya ingin berbicara dengan Julia.

Wanita itu pun memanggil Julia. Sayup-sayup terdengar perkataan wanita tersebut dalam bahasa Rusia, "Julia, drugoi inostranets tebya iskal! - Julia, ada orang asing mencari kamu!" Lalu telepon pun ditinggalkan begitu saja. Setelah kurang lebih lima menit, saya tidak menerima jawaban apapun. Yang hanya saya dengar hanyalah pembicaraan sayup-sayup dari gagang telepon yang saya pegang. Umpatan pun terlontar, "Tupaya devushka! - Wanita bodoh!"

Beginikah cara bank "terkemuka" melayani pelanggannya?

Lalu saya mengatakan kepada security, bahwa Julia tidak ada di tempat dan security meminta saya untuk mendatangi kamar no. 115, tempat dimana Elena bekerja. Saya pun masuk ke kamar no. 115 dan di dalam ruang sempit itu, terdapat empat meja kerja berwarna putih dan duduk dua orang wanita.

"Maaf, saya ingin bertemu dengan Elena atau Julia," kata saya.

Satu dari wanita dengan rambut cokelat pirang menjawab, "Dia sedang keluar." Dan selesai begitu saja. Tanpa mempersilahkan saya untuk duduk. Lalu wanita yang duduk di meja di seberang saya berdiri mempersilahkan saya untuk duduk menunggu. Ya elah si neng. Mending cantik. Gak punya manner banget!

Saya duduk menunggu selama kurang lebih sepuluh menit. Elena maupun Julia tidak kunjung datang. Ruangan kecil itu panas dan sesak sekali. Di tiap meja berserakan kertas-kertas serta berkas-berkas bank yang akan dicap. Saya sempat berpikir, jangan-jangan tumpukan kertas itu merupakan keluhan-keluhan dari para nasabah. Whew!

Saya pun masih sabar untuk menunggu. Sesekali menarik napas panjang dan berkata dalam hati, "this time I'll win!". Seorang wanita berambut bondol masuk ke ruangan itu. Dia duduk lalu mengangkat telepon. Saya menebak dia adalah Elena. Dan ternyata benar. Di telepon dia menyebutkan nama Julia, dan dia meminta bantuan Julia untuk menangani kasus saya

Setelah Elena menutup telepon, dia mempersilahkan saya untuk naik ke lantai dua, tempat dimana Julia berada. Elena pun melemparkan senyumnya kepada saya ketika menaiki tangga. Dan sekedar basa-basi, saya menanyakan kabarnya. Saya pun masuk ke ruangan yang lebih besar dan bersih. Setidaknya lebih beradab dari ruang bawah tanah sebelumnya. Duduk dalam ruangan tersebut, dua orang wanita berumur 30-an dan seorang wanita berumur 40-an.

Julia. Dengan senyumnya menyapa saya dan mempersilahkan saya untuk duduk. Setelan berwarna biru langit yang dikenakan tampak serasi dengan kalung emas berbentuk salib, serta rambut pirangnya. Setelah mempersilahkan Elena untuk keluar, Julia berkata kepada saya dalam bahasa Inggris yang fasih untuk menunggu sebentar.

Wajahnya mengingatkan saya pada salah satu aktris Amerika jaman ini. Ya, Scarlet Johanson! Saya pikir Scarletlah yang bisa saya gunakan sebagai analogi untuk Julia. Saya berharap, bahwa kecantikan dia akan sesuai dengan tingkah lakunya.

Julia pun meminta semua dokumen yang diperlukan. Pada saat dia sedang memeriksa semua dokumen tersebut, saya melemparkan pandangan saya ke tempat dia bekerja. Di samping meja hitamnya yang tertata rapih, tertempel peta Inggris. Saya berpikir, bahwa setidaknya dia pernah ke sana atau berangan-angan untuk ke sana.

Setelah Julia mengecek semua dokumen tersebut, dia meminta saya untuk kembali mengisi formulir aplikasi pengajuan kartu. Saya pun mengatakan kepadanya, bahwa saya sudah mengisi formulir aplikasi tersebut di Saint Petersburg dan saya keberatan untuk mengisinya dua kali.

Dengan sedikit kesal, namun masih tersenyum, dia mengatakan bahwa terjadi kesalahan di bank Saint Petersburg. Ageyeva, teller yang menangani saya di Saint Petersburg, tidak memasukan data saya ke dalam sistem. Oleh karena itu, nama saya tidak tercantum di dalam sistem dan saya harus melakukan registrasi ulang untuk hal ini.

Pikiran saya sesaat kembali membayangkan wajah Ageyeva. Lalu umpatan kedua pun mendaratlah di pikiran saya.

Saya mengatakan kepada Julia, bahwa bank ini harus banyak belajar bagaimana menangani nasabah. Saya sangat menyayangkan buruknya pelayanan bank ini dan saya meminta dia untuk menyampaikan keluhan saya kepada pihak bank di Saint Petersburg. Julia pun meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh bank di Saint Petersburg dan dia berjanji akan menyampaikan keluhan saya.

Setelah semua proses selesai. Julia pun mengatakan, bahwa uang akan dikirim hari ini juga setelah mendapatkan persetujuan dari cabang Saint Petersburg. Dan satu hal yang sangat mengejutkan, saat Julia menjelaskan, untuk penarikan tunai di mesin ATM bank setempat, dikenakan komisi 0.5 persen dari jumlah pengambilan.

Saya pun terkejut mendengarnya. Saya mengatakan kepada Julia, bahwa tidak ada dalam sejarah manapun, untuk penarikan tunai di bank setempat akan dikenakan komisi. Ini merupakan hal yang tidak waras untuk saya. Untuk apa menyimpan uang di bank, jika setiap penarikan tunai harus dikenakan komisi?

Julia pun seakan memahami kondisi dimana dia pun tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya mengatakan, bahwa inilah sistem yang berlaku di bank ini. mau tidak mau harus diterima.

Saya pun menyudahi pembicaraan dan bergegas ke mesin ATM yang ditunjukan oleh Julia untuk mengecek saldo. Dan "berhasil, berhasil, horray!". Angka saldo pun bertambah. Tanpa pikir panjang saya menarik tiga lembar uang tersebut, yang tentunya dikenakan komisi dari sisa uang yang saya masukan sebelumnya untuk penggantian nomor PIN.

Saya berterima kasih kepada Julia atas kesabaran dia membantu saya dan saya pun bergegas melangkahkan kaki keluar dari gedung tua tersebut dan membuka pintu besi, seperti adegan pembuka di film Sex and The City 2, saat Carrie keluar dengan kacamata emasnya diiringi lagu Empire State of Mind oleh Alicia Keys, hanya bedanya saya tidak menggunakan kacamata emas tersebut dan tidak memakai Halston Heritage Dress dan Christian Louboutin Pigalle Heels, which gonna' make you die on prices! Hahahaha!

"Vot Tak!!! - Ini dia!!!"

Ini hanya pembelajaran dari sedikit kekesalan saya di Moscow, khususnya. Dan tentunya bisa dijadikan sebagai alat untuk lebih mensyukuri apa yang kita miliki di dalam negeri (baca: Indonesia).  Birokrasi memang menyebalkan, namun semua pasti ada jalan untuk memperjuangkan hak yang memang menjadi hak kita.

Negara ini harus menerima kenyataan, bahwa sekarang mereka bukan hidup di era komunis lagi. Sekarang mereka hidup, dimana setiap orang berkompetisi untuk menjadi yang terbaik untuk dirinya. Tidak semua orang adalah raja dan tentunya dengan menurunkan ego mereka, saya pikir negara ini akan menjadi negara yang lebih besar lagi.

Tinggal di Rusia membuat saya menjadi lebih menghargai Indonesia. Melihat Indonesia dari angle yang berbeda.

Just like the old quotation said, "There's no other place like home!"

Vot Eto Rossiya!

Tinggal di Jakarta menurut saya masih ketimbang lebih baik dari Moskow, jika dilihat dari segi "pelayanan pelanggan" atau lebih keren disebutcustomer service. Jangan pernah membayangkan bahwa kota yang besar dengan tingkat peradaban tinggi akan memberikan pelayanan yang maksimal juga.

Moskow. Kota dengan hiruk pikuk masyarakat yang "kata orang" penuh dengan kemajuan di sana sini. Namun dalam skup "pelayanan", maka kita sebagai pelanggan akan sering sekali menemukan kesulitan untuk "dilayani", ditambah lagi kita sebagai orang asing.

Hal ini seringkali dialami bukan hanya oleh saya, namun juga oleh teman-teman saya. Dan lebih parahnya lagi bahkan teman-teman Rusia saya pun ikut terkena imbas.

Suatu ketika di awal bulan November yang dingin, saat saya sedang berada di bandara di kota Saint Petersburg, saya hendak menukarkan uang asing saya ke mata uang rubel di sebuah mesin ATM. Saya memasukan tigal lembar kertas berwarna abu-abu ke dalam mesin ATM. Mengejutkan sekali. Tiba-tiba saya hanya menerima sebuah kertas kecil (baca: kwitansi) yang bertuliskan, "Operasi dibatalkan. Silahkan menulis laporan tertulis kepada Bank terkait (Master Bank)". Secarik kertas itu merupakan tiket emas saya untuk mendapatkan uang saya kembali.

Saya langsung menghubungi nomor telepon yang tertera di kertas tersebut. Suara seorang wanita yang ketus menjawab telepon saya. Dengan bahasa Rusia yang belepotan, saya menjelaskan situasi saya. Namun dengan entengnya wanita itu menjawab, "Silahkan anda menghubungi bank di Saint Petersburg dengan nomor sekian." Konyol sekali menurut saya. Kalau memang saya harus menghubungi bank yang ada di Saint Petersburg, mengapa di kertas itu tertera nomor Moskow. Dasar sableng!

Setelah pembicaraan selesai, saya menghubungi nomor yang diberikan wanita tadi. Naik pitamlah saya, karena yang hanya saya dengar hanya nada sibuk. Bayangkan, hampir sepuluh kali menghubungi nomor itu, namun disambut dengan nada sibuk. Dalam hati saya mengumpat, "Lo pikir, gue gak sibuk?!"

Akhirnya entah yang keberapa kali saya mencoba, saya terhubung dengan suara seorang wanita yang kali ini lebih ramah. Saya menjelaskan situasi saya dan wanita itu menghubungkan saya dengan "spesialis" (istilah yang digunakan di Rusia) bernama Marina. Dan untuk ketiga kalinya (bayangkan kalau yang keempat saya bisa dapat piring cantik!) saya menjelaskan situasi yang sama.

Marina memberikan jawaban, bahwa saya harus datang ke counter Master Bank yang ada di bandara Pulkovo 1 (nama bandara di Saint Petersburg). Mutar-mutar saya mencari namun tidak menemukan counter tersebut. Saya kembali menelpon Marina, dan dia mengatakan bahwa counter-nya terletak di Pulkovo 2. Akhirnya keluarlah bahasa Rusia saya yang ajaib. Dengan segala caci maki yang tidak jelas saya melayangkan protes kepada dia, karena dia tidak memberikan informasi yang akurat. Untung saja bahasa Rusia saya belum berstruktur kuat. Bayangkan, kalau strukturnya lebih kuat lagi, hmmm... dijamin bukan mulut saya yangbelepotan, tapi wajah dia bisa saya bikin belepotan.

Hari itu juga, kembali saya menelpon Marina, mengabarkan bahwa saya tidak menemukan counter tersebut dan juga tidak bisa datang ke kantorMaster Bank terkait dikarenakan jadwal saya yang padat. Oh, ya, saya sempat membuat skenario, mengatakan kepada Marina bahwa saya harus terbang ke Moskow satu jam lagi. Dan oleh karena pelayanan pelanggan yang buruk, saya sampai harus membatalkan tiket saya demi tiga lembar uang dalam mesin tersebut. Hihihi, bodo amat, emang gue pikirin! Alhasil si Marina cenat cenut jidatnya.

Hari berikutnya setelah rangkaian kegiatan selesai di Saint Petersburg, saya mengunjungi kantor Master Bank. Kedatangan saya disambut oleh seorang wanita cantik berambut cokelat yang menatap saya dengan tatapan maut. Saya menyampaikan bahwa saya ingin membuat laporan terkait dengan masalah saya. Wanita tersebut bernama Ageyeva. Ageyeva menyiapkan formulir laporan yang harus saya isi. Setelah semua proses selesai, satu pertanyaan final saya lemparkan. "Bagaimana cara saya mendapatkan uang saya kembali?". Ageyeva menjawab, bahwa saya harus menunggu di Saint Petersburg selama 2-3 hari. "Semprul! Lo pikir gue liburan!", dalam hati saya mengumpat.

Saya menjelaskan, bahwa malam itu saya harus terbang ke Moskow dengan dua tamu penting. Dan saya menyampaikan, bahwa saya tidak mau tahu, pihak bank harus memberikan saya solusi. Jika tidak, saya tidak segan-segan menuntut pihak Bank dengan melaporkan kepada pihak berwajib.

Air muka Ageyeva langsung berubah menjadi histeris, dan dia meminta saya untuk duduk. Lalu, dia menghubungi koleganya yang merupakan "spesialis" di bank tersebut. Ternyata dia menghubungi Marina. Setelah 5 menit menunggu, Ageyeva mengatakan, bahwa pihak bank akan membuatkan express card dimana nantinya uang tersebut akan dikirimkan ke account saya yang tertera di kartu tersebut.

Mendengar kata express saya berpikir bahwa proses kartu tersebut tidak memakan waktu kurang dari 15 menit. Terkejut sekali saya, karena setelah lebih dari satu jam menunggu, kartu tersebut belum jadi juga. Saya mengatakan, bahwa saya harus ke Bandara dan tamu penting saya sudah menunggu terlalu lama di cafe sebelah.

Lalu driver mobil masuk. Sergey, pria Rusia dengan perawakan yang tinggi besar masuk membantu saya menanyakan perihal kartu tersebut. Wajah Ageyeva menjadi panik, karena dia berpikir bahwa Sergey adalah polisi yang saya hubungi. Saat itu Sergey memakai jaket kulit hitam dengan jean hitam. Kepala botak dengan perawakan seperti Shrek.

Saya meminta Ageyeva untuk menandatangani surat pernyataan yang saya buat dengan menyatakan secara tertulis, bahwa dia sebagai tellertidak bisa memenuhi pekerjaannya dalam membuat kartu ekspres tersebut. Dan dia menandatangani serta mencap surat tersebut. Rasa puas sesaat mampir di wajah saya. Kertas ini akan menjadi bukti cacat pihak bank dalam melayani pelanggan.

Saat saya akan melangkah keluar, Ageyeva memanggil saya dan mengatakan, bahwa kalau saya masih mau menunggu 5 menit lagi, kartu saya akan selesai. Saya pun memberikan toleransi 5 menit lagi (dah kaya lagu dangdut). Kartu sakti itu pun  selesai dibuat, namun memakan waktu lebih dari lima menit. Sebelum saya melangkah keluar, saya kembali menanyakan Ageyeva untuk memberikan jaminan bahwa uang akan dikirimkan dalam 2-3 hari. Dan saya kembali pulang ke Moskow ditemani dua orang tamu penting yang telah sabar menunggu saya dalam proses tersebut.

Pagi hari yang masih tetap dingin di kota Moskow. Kembali ke hiruk pikuk masyarakat yang sangat kaku. Saya melangkahkan kaki saya menujuMaster Bank yang kebetulan letaknya di belakang tempat saya bekerja. Tujuan saya sebenarnya hanya untuk mengganti nomor PIN kartu ekspres yang saya terima. Setelah berulang kali mencoba, operasi terus gagal. Entah mengapa.

Sang security yang melihat saya autis dengan mesin ATM mendatangi saya dan mengatakan, bahwa saya harus mencoba di ATM lain yang kebetulan ada di dalam bank tersebut. Saya pun memasukan kartu saya di 3 mesin ATM, namun tetap gagal mengganti PIN. Lalu saya mendatangi salah satu teller yang paling muda berbaju ungu. Saya menanyakan, "Do you speak English?". Dia, dengan wajah celingukan mengatakan tidak. Dan kembali saya menanyakan, "Is there anyone from you who can speak English?". Lalu seorang teller dengan rambut pirang mengacungkan tangannya, "Yes I can speak English. Medium!". Mendengar kata mediummembuat kening saya berkerut. Namun tanpa pikir panjang, saya menyampaikan perihal saya.

Saya mengatakan bahwa saya tidak bisa mengganti PIN saya. Lalu dia mengecek data saya dan mengatakan, bahwa nama saya tidak tertera dalam sistem.

Wajah saya menjadi merah seketika. Bukan karena malu, namun karena jengkel sekali terhadap pelayanan yang sangat buruk. Saya mengatakan bahwa konyol sekali jika nama saya tidak ada, namun saya sudah memilikiaccount di bank tersebut. Lalu kembali dia memeriksa komputer dan mengatakan bahwa dia telah menemukan nama saya. Untuk itu saya harus menunggu kurang lebih 30 menit.

Lalu dia mengatakan bahwa saya tidak dapat mengganti PIN saya dikarenakan jenis kartu ekspress tidak bisa mengganti PIN. Benar-benartolol orang ini! Secepat kilat saya mengeluarkan secarik kertas yang berisikan no PIN lama saya. Di kertas tersebut tertera keterangan tertulis, "Anda dapat mengganti PIN Anda kapan saja tanpa batas!". Melihat kertas itu, si wanita pirang itu menunduk meminta maaf.

Saya mengatakan dengan ketus, "Bank Anda merupakan Bank terburuk yang ada di dunia ini. Dan Anda bekerja sangat ceroboh! Anda sama sekali tidak membantu saya!". Saya membuat si pirang menjadi merasa bersalah.

Selanjutnya si pirang memeriksa primbonnya. Setelah kurang lebih sepuluh menit, dia mengatakan bahwa alasan tidak bisa mengganti PIN dikarenakan account saya kosong. Saya pun menanyakan apakah kalau saya memasukan uang saya, saya bisa mengganti PIN saya. Dia mengatakan iya.

Lau saya memasukan lima dolar ke account tersebut dan ternyata saya berhasil mengganti PIN saya. Namun, sangat mengecewakan, bahwa untuk mengganti PIN saya dikenakan biaya tiga dolar. Gila sekali, ini mah perampasan uang secara perlahan-lahan.

Lalu saya kembali ke si pirang tersebut dan menyampaikan perihal di Saint Petersburg. Dia mengatakan dengan bahu diangkat dan mimik muka yang menyebalkan, "Saya tidak tahu. Anda harus menghubungi bank di Saint Petersburg!".

Saya membalas, "APA?!!!" (mirip acting para aktor di extravaganza) - "Ini Bank anda, bukan bank saya! Anda sebagai pekerja yang harus menghubungi, bukan saya! Kalau anda tidak bisa membantu saya akan menghubungi pengacara saya!". Terpaksa saya berbohong untuk kembali menekan wanita pirang ini. Dan cara ini terbukti ampuh untuk membuat orang menjadi panik.

Dengan tergesa-gesa seorang teman yang duduk di samping kiri dia, memberikan nomor telepon di Saint Petersburg. Dia menghubungi nomor tersebut, yang ternyata menghubungkan dia dengan si Marina. Saya sudah mengetahui, bahwa saya akan menerima jawaban yang sama. Namun, saya tetap menanyakan hal yang sama, "Kapan uang saya akan dikirim?".

Wanita pirang itu menjawab dengan bahasa Inggris yang dipaksakan, "The money will fly!!". Kalau sudah seperti ini, rasa marah saya berubah menjadi rasa kasihan. Lucu sekali cara dia mengekspresikan kalimat tersebut dengan gerakan tangannya. Saya pun mengucapkan terima kasih dan keluar dari bank tersebut.

Hari ini, setelah enam hari menunggu, saya kembali memeriksa saldo saya dan ternyata uang masih belum juga dikirim. Saya memutuskan mengirimkan email ke pihak bank dengan menyatakan protes keras, karena pihak bank sangat lamban memecahkan masalah sederhana ini.

Setelah email-email saya kirim, saya menghubungi Marina via telepon dan dia mengatakan akan menghubungi saya kembali. Setelah hampir tiga jam, saya kembali menghubungi dia kembali dengan harapan akan ada solusi dari pertanyaan tadi. Dan ternyata, dia masih meminta saya menunggu. Bodoh sekali orang ini! Setelah kurang lebih tiga menit menunggu di telepon, Marina menanyakan nomor kartu saya dan mengatakan bahwa uang akan dikirmkan besok pagi.

Saya pun sedikit lega. Namun rasa lega tersebut berubah seketika, karena saya mendapatkan telepon dari Ageyeva, mengatakan bahwa saya harus melaporkan kejadian ini di bank pusat di Moskow. Saya mengatakan dengan nada keras kepada Ageyeva, bahwa saya sangat keberatan dengan hal ini. Mengapa baru sekarang dia meminta saya untuk datang ke bank pusat di Moskow? Dia pun memberikan nomor telepon orang yang saya bisa hubungi di Moskow. Namanya Elena Maseyeva.

Saya menghubungi Elena dan menanyakan apakah dia bisa berbahasa Inggris. Dia menyambungkan saya dengan temannya Julia yang fasih berbahasa Inggris. Saya menjelaskan situasi saya kepada Julia. Dan lega sekali karena Julia memahami maksud saya dan menyampaikan bahwa saya tetap harus datang ke bank pusat dengan membawa paspor yang diterjemahkan notaris. Saya pun langsung mendaratkan keberatan saya dengan mengatakan bahwa saya tidak mau menterjemahkan paspor saya di notaris, karena akan memakan biaya yang tidak murah dan saya tidak mau dibuat rumit. Saya menawarkan opsi bahwa saya akan menggunakan terjemahan dengan cap Kedutaan Besar. Akhirnya Elena dan Julia setuju.

Setelah telepon itu, Ageyeva menghubungi saya memberitahukan bahwa saya harus datang dengan paspor terjemahan. Saya menegur dia dengan keras, dengan menanyakan alasan mengapa dia baru mengatakan sekarang. Dia mengatakan bahwa paspor saya akan habis masa berlakunya. Geram sekali saya! Saya mengatakan dengan sangat kasar, "Kamu kerja pakai kepala gak sih? Bisa baca kan? Paspor saya masih tiga tahun lagi habis masa berlakunya. Kamu kalau memberikan informasi yang jelas! Pakai otak kamu!"

Ageyeva pun terdiam tanpa kata maaf. Dia mengatakan bahwa saya harus tetap ke bank tersebut. Saya mengatakan bahwa saya sudah mengerti semua. Dan pembicaraan saya akhiri.

Sekarang, saya akan menunggu. Cerita menarik apalagi yang akan terjadi besok?

Menurut opini saya, apa yang saya alami merupakan salah satu contoh kegagalan negara ini dalam melayani pelanggan. Dan saya percaya masih banyak contoh lain yang dialami oleh teman-teman saya yang bahkan juga orang Rusia. Mulai dari teman-teman dekat saya sekaligus murid saya dan bahkan atasan saya selalu mengatakan, "Vot Eto Rossiya!" - yang dapat diartikan "Inilah Rusia!"

So guys, don't expect too much!